um-palembang.ac.id – Perguruan tinggi harus meninggalkan paradigmanya sebagai ‘menara gading’ dan harus aktif dalam meng-inisiasi kerjasama dengan institusi di luar kampus. Ini berdampak pada perubahan pengelolaan Catur -Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi harus menjadi agen dalam mempromosikan keterbaharuan pada industri, bukan sebaliknya.
Hal tersebut disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., saat memberikan sambutan dalam acara Webinar “Sosialisasi Implementasi Kerjasama Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka” dengan narasumber Prof. Dr. Lindrianasari, S.E., M.Si., CA., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, dengan moderator Dr. Yuhanis Ladewi, SE.,M.Si.,CA Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis FEB Universitas Muhammadiyah Palembang, pada Rabu, (7/10/2020).
Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., menjelaskan, awal tahun 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Kampus Merdeka untuk perguruan tinggi di Indonesia. Program ini bertujuan untuk memberikan ‘kebebasan’ bagi perguruan tinggi dalam tata kelola organisasi serta ‘kemerdekaan’ bagi mahasiswa untuk belajar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Pemerintah melalui program ini menyadari bahwa dunia pendidikan tinggi telah memasuki era di mana informasi dan pengetahuan tersedia secara luas melalui jejaring Internet.
Kendati demikian, tantangan utamanya adalah kesiapan Indonesia dalam menghadapi Global Megatrend 2045 dan implik asinya terhadap kehidupan bernegara. Perguruan Tinggi, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan perubahan tersebut agar tidak tergilas.
“Paradigma ‘merdeka belajar’ sebenarnya telah dilakukan oleh para ilmuan di era awal terbentuknya perguruan tinggi di tahun 1000-an masehi. ‘merdeka belajar’ bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan fundamental dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi” jelasnya.
Doktor Ilmu Manajemen ini juga mengatakan, akhir- akhir ini di temukan perbedaan ‘logika institusi’ antara perguruan tinggi dan industri juga berdampak pada kompetensi lulusan yang dihasilkan. Permasalahan klasik ini , adalah adanya jurang pemisah antara perguruan tinggi dan industri yang berdampak pada rendahnya keterserapan lulusan. Selain dari fluktuasi pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja, rendahnya keterserapan lulusan dikarenakan besarnya gap kompetensi lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, kedekatan antara perguruan tinggi dan industri merupakan hal yang harus diwujudkan. Pada dekade terakhir istilah University-Business Cooperation (Kerjasama Perguruan Tinggi dan Bisnis) telah menjadi kerangka kerja di berbagai negara untuk mengantisipasi gap/jarak antara perguruan tinggi dan industri/masyarakat/NGO atau pemerintah.
Ia melanjutkan, kedepan peneliti, dosen, dan mahasiswa haruslah menjadi agen hibrid, yang menyeimbangkan pencapaian akademik dan keterpakaian industri baik pada konteks pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah dan bukan hal yang tidak mungkin dilakukan.
Karena menurutnya, perguruan tinggi kedepan dituntut untuk mendapatkan kepercayaan dan komitmen dari industri. Selanjutnya perguruan tinggi juga dihadapkan dengan tantangan untuk mempertahankan kolaborasi dengan industri. Kerjasama Perguruan Tinggi dan Bisnis (KPTB) merupakan kerangka utama dalam menjalankan Program Kampus Merdeka. Dengan kebijakan ini diharapkan lulusan mendapatkan kompetensi tidak hanya dari perguruan diri sendiri tetapi dari ‘dunia luar’, untuk program studi 8 semester.
Oleh sebab itu, lulusan harus mengetahui bagaimana sebenarnya dunia kerja. Secara program, mahasiswa mengambil satu semester di luar program studi di perguruan tingginya dan selanjutnya melanjutkan dua semester di luar perguruan tinggi. Guna mendukung program ini berjalan lancar, perguruan tinggi harus menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi lain, industri kecil dan menengah, organisasi profit dan non-profit, pemerintah daerah dan sebagainya.
Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., diakhir sambutannya menambahkan bahwa, perguruan tinggi harus mengantisipasi keberagaman institusi dan menjaga keberlangsungan kerjasama. Bentuk – bentuk kegiatan “merdeka belajar” diluar perguruan tinggi dapat dilakukan :
PERTAMA, MAGANG – konsep latihan kerja yang dilakukan oleh mahasiswa dan dibimbing oleh dosen dan pembimbing industri. Di negara-negara maju, mahasiswa diwajibkan magang di industri/ organisasi terkait baik pada program sarjana maupun vokasi.
KEDUA, PROYEK DESA. Mahasiswa berkesempatan untuk melaksanakan semester di luar perguruan tinggi dengan terlibat langsung di proyek-proyek pembangunan desa. Tentunya perguruan tinggi harus lebih dulu menjajaki desa-desa yang memang menyediakan tempat bagi mahasiswa untuk ikut serta.
KETIGA, MENGAJAR DI SEKOLAH. Mahasiswa dapat merasakan pengalaman menjadi guru di sekolah-sekolah menengah dan menerapkan pengetahuan yang di dapat dari perguruan tinggi.
KEEMPAT, PERTUKARAN MAHASISWA. Program ini memang telah dilaksanakan di beberapa tahun terakhir di berbagai perguruan tinggi baik nasional maupun internasional. Program ini dapat dipakai untuk memenuhi satu semester di perguruan tinggi lain baik untuk pembelajaran maupun penelitian.
KELIMA, PROYEK INDEPENDEN DAN KEMANUSIAAN. Mahasiswa dapat mengikuti proyek-proyek independen di perusahaan ataupun kemanusiaan untuk memenuhi satu atau dua semester di luar perguruan tinggi.
DAN TERAKHIR, WIRAUSAHA. selain menjadi target pemerintah untuk meningkatkan jumlah wirausaha di Indonesia, satu atau dua semester untuk memulai wirausaha dapat di lakukan di beberapa kegiatan perusahaan seperti pada Business Incubator, Science Park dan lain-lain.
Dengan demikian, tantangan utama pelaksanaan kampus merdeka adalah penyamaan konsepsi bahwa perguruan tinggi merupakan organisasi yang dinamis yang mengikuti perubahan zaman. Perguruan Tinggi sebagai organisasi hibrid menjadi penting bagi perguruan tinggi sehingga dapat berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan Indonesia.
Editor: Rianza Putra