um-palembang.ac.id – Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM Sumsel) dan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Selatan (PWA Sumsel) mengikuti Tanwir Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah secara daring, Sabtu (4/9/2021). Tema Tanwir ini “Optimis Menghadapi Covid-19 Menuju Sukses Muktamar ke- 48”. Harapannya dengan semangat yang optimistik Tanwir dapat berjalan lancar disertai kebersamaan yang tinggi untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi kemaslahatan Muhammadiyah, umat, dan bangsa. Agenda utamanya memastikan Muktamar di Surakarta tahun 2022.
Turut hadir secara langsung Ketua PWM Sumsel Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag., dan Ketua PWA Sumsel Dra. Hj. Darmi Hartati, M.M., Ketua BPH UM Palembang Dr. H.M. Idris, S.E., M.Si., dan Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., serta anggota pleno Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM Sumsel) dan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Selatan (PWA Sumsel).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., dalam pidatonya menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota-peserta Tanwir Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah atas kehadirannya, semoga kita tetap sehat-walafiat dan dirahmati Allah SWT.
Pandemi Covid-19 di Indonesia sampai awal September ini belum mereda. Pada dua bulan terakhir bahkan meninggi. Korban meninggal masih terjadi. Pertanggal 3 September 2021 tercatat di diunia 4,546,830 orang meninggal, di Indonesia 134,356 jiwa meninggal. Menurut kajian para ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga bersama Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat 19 Agustus 2021; terkonfirmasi bahwa tidaklah mudah memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Berbagai faktor objektif ikut menentukan bagaimana akhir wabah global ini.
Sejumlah negara telah memilih jalan “berdamai” dengan Covid-19. Tetapi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pandemi belum akan berakhir setidaknya hingga pertengahan atau akhir 2022. Kondisi tersebut dipicu oleh rendahnya angka vaksinasi di seluruh dunia dari target 70% populasi setiap negara. Selain itu masih terdapat disparitas antara negara kaya dengan negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang memperlambat pemerataan vaksin di seluruh dunia.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom menyatakan, ketidakadilan vaksin di tingkat global merupakan “kegagalan moral mengalahkan diri sendiri secara epidemiologis dan ekonomis”. Menurutnya, pandemi akan berakhir ketika dunia memilih untuk mengakhirinya melalui vaksinasi. Vaksinasi yang meluas dan mencapai populasi tertinggi merupakan tonggak penting yang harus dicapai bersama menuju kekebalan kelompok (herd immunity) secara merata agar dapat mengakhiri pandemi di seluruh negara (Newsweek, 27/7/2021). Menurut sejumlah ahli, bila vaksinasi tidak mencapai target populasi yang diniscayakan, maka masih berat usaha mengakhiri Covid-19 dalam tempo singkat. Padahal vaksinasi bukanlah satu-satunya cara untuk mengakhiri wabah virus ini.
Kemampuan mengakhiri pandemi ini tergantung pada faktor lain seperti sistem dan kondisi kesehatan di setiap negara, kebijakan dan langkah yang ditempuh secara konsisten, infrastruktur kesehatan yang tersedia, disiplin dan sikap hidup masyarakat, serta variabel penting lainnya.Kini muncul informasi kemungkinan perubahan status pandemi Covid-19 menjadi endemi, yakni wabah penyakit yang secara konsisten ada, namun terbatas. pada wilayah tertentu, sehingga membuat penyebaran penyakit dan tingkat penularan dapat diprediksi. Beberapa indikator dapat mempercepat perubahan status tersebut, antara lain (1) Meningkatnya kekebalan tubuh masyarakat terhadap virus corona, (2) Menurunnya angka infeksi alamiah, sehingga dapat menurunkan jumlah pasien dirawat dan angka kematian Covid-19. Namun status endemi tidak bisa dicapai dalam waktu dekat, kemungkinannya pada pertengahan atau akhir tahun 2022.
Kesimpulannya, usaha mengatasi pandemi Covid-19 baik dengan perubahan status menjadi endemi maupun cara mengakhirinya tidaklah mudah sebab meniscayakan segala persyaratan dan faktor yang saling terkait. Karenanya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam merencanakan pelaksanaan Muktaramar ke-48 di Surakarta sebagaimana akan dibahas dalam Tanwir ini mempertimbangkan segala faktor dan dampaknya dari kondisi pandemi Covid-19 yang kompleks tersebut.
Sikap Optimistik
Diksi “optimis” dipilih dalam tema Tanwir ini. “Optimis” ialah “orang yang selalu berpengharapan atau berpandangan baik dalam menghadapi segala hal” (KBBI). Orang yang memiliki pikiran tentang masa depan yang baik dan sudut pandang yang positif dalam melihat suatu perkara. Narasi optimis dikedepankan agar segenap anggota Muhammadiyah maupun warga bangsa memiliki alam pikiran dan sikap yang baik dalam menghadapi musibah pandemi Covid-19 maupun dalam menghadapai masalah- masalah kehidupan lainnya.
Kita selaku kaum beriman telah menerima pandemi Covid-19 ini sebagai musibah “tha’un” yang berat. Seberat apa pun musibah itu tentu dapat dihadapi dengan sabar dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Kualitas kesabaran dan kesungguhan berikhtiar benar-benar diuji dalam menghadapi musibah ini sebagaimana peringatan Allah.
Orientasi Pandangan
Keputusan Tanwir tahun lalu menetapkan Muktamar ke-48 tahun 2022 setelah ibadah haji yang akan ditentukan sistem dan modelnya pada Tanwir kedua ini. Pimpinan Pusat berharap pembahasan berjalan lancar agar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dapat menyelenggarakan permusyawaratan tertinggi itu dengan seksama. Pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi penting menjadi dasar pandangan dalam memutuskan perkara yang berat dan berdampak luas ini.
Muhammadiyah penting meletakkan musibah pandemi yang telah berjalan dua tahun ini sebagai “‘ām al-ḥuzni” atau “tahun duka”. Betapa berat korban sakit dan meninggal aikbat virus corona ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Para dokter, tenaga kesehatan, relawan, dan berbagai pihak yang terlibat dalam usaha penanganan Covid-19 merasakan beban yang berat. Banyak saudara-saudara sebangsa terutama di akar-rumput yang terdampak sosial ekonomi dan psikososial dari pandemi ini.
Karenanya diperlukan empati, simpati, peduli, dan sikap kemanusiaan yang luhur dari seluruh anak bangsa dan semua pihak dalam mengatasi musibah berat ini. Lebih-lebih bagi kaum muslimin khususnya keluarga besar Muhammadiyah sebagai umat beriman yang diajari ihsan dalam kehidupan. Iman dan tauhid yang fungsional dari setiap muslim diuji dalam menghadapi musibah bersama ini sebagaimana sabda Nabi, “Lā yu’minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li-akhīhi ma yuḥibbu li-nafsihi”, artinya “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya” (HR al-Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik).
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan seksama. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min-Allāh yang terhubung langsung dengan ḥablun min-an-nās, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang bermakna.
Muhammadiyah memandang relasi antara “ḥablun min-Allāh” dan “ḥablun min- an-nās” itu saling terhubung yang harus membuahkan segala kebaikan dalam kehidupan. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada pokok pikiran pertama menyatakan “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.”. Pada Pokok pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat.”. Sedangkan Pikiran Keempat menyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”. Demikian halnya teologi Al-Ma‘un yang selama ini menjadi praksis kemanusiaan inklusif yang melintas- batas.
Wawasan ideologis Muhammadiyah berbasis Muqaddimah dan Al-Ma‘un tersebut mesti direinterpretasi dan direaktualisasikan menghadapi pandemi Covid-19 serta masalah dan dimensi kehidupan lainnya ke dalam orientasi baru kemanusiaan yang membebaskan, memberdayakan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan. Inilah humanisme Islam berwawasan “profetik-antroposentris”, yakni orientasi kemanusiaan berbasis nilai-nilai Ilahi yang teraktualisasi secara fungsional dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di muka bumi.
Roy Scranton dalam “Learning to Die in the Anthropocene” menyatakan, “Tantangan terbesar yang dihadapi manusia abad ini adalah tantangan filosofis, yakni bagaimana mengerti bahwa peradaban ini diambang kematian”. Kematian secara alami, budaya, ekonomi, dan lainnya yang meniscayakan lahirnya kearifan baru dalam menghadapi kehidupan manusia dengan segala ekosistemnya yang kompleks.
Karenanya Muhammadiyah tidak meletakkan masalah pandemi ini pada tataran teknis instrumental tetapi memandangnya secara filosofis dan praksis dengan nalar interkoneksi bayani, burhani, dan irfani yang sarat makna. Panduan beragama yang dituntunkan Majelis Tarjih dan Tajdid dalam menghadapi pandemi Covid-19 selama ini menggambarkan pandangan multiaspek dan multiperspektif itu. Agenda aktualisasinya agar segenap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah mengimplementasikan pemikiran yang kaya itu menjadi mozaik kearifan hidup milik bersama.
Buya Hamka dalam “Tasawuf Modern” menuliskan pesan sikap “tawāzun” atau “tawasuth” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat “al-jubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap “tahawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan ialah “syajā‘ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “Wasathiyyah Islam”, Islam Jalan Tengah. Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan masalah kehidupan lainnya selama ini mengembangkan sikap tengahan antara pendekatan “rasional-ilmiah” dan “spiritual-ruhaniah” dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang saling terhubung. Itulah Muhammadiyah Jalan Tengah.
Sikap wasathiyah Muhammadiyah dalam memandang dan menyikapi pandemi Covid-19 maupun masalah kehidupan lainnya merujuk pada asas interkoneksitas “Maqāṣidu asy-Syarī‘ah”. Aspek “ḥifẓ an-nafs” (menjaga jiwa), “ḥifẓ al-‘aql” (menjaga akal), “ḥifẓ al-māl” (menjaga harta), dan “ḥifẓ an-nasl” (menjaga keturunan) merupakan satu kesatuan yang terhubung dengan dan memiliki fondasi kuat pada “ḥifẓ ad-dīn” (menjaga agama). Kelimanya tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan, tetapi satu kesatuan utuh berfondasikan “ar-Rujū’ ilā al-Qur’ān wa as-Sunnah” dan ijtihad untuk menjawab problematika zaman.
Karena itu dalam konteks Muktamar ke-48 di Surakarta, maka diperlukan pelaksanaan yang betul-betul seksama dengan mempertimbangkan berbagai aspek situasional. Pelaksanaan Muktamar dengan sistem Muktamar “Khusus” dapat menjadi pilihan dalam sejumlah opsi. Muktamar ke-48 justru menjadi terdesentrisasi Muktamar yang penyelenggaranya Muhammadiyah seluruh Indonesia. Khusus tentang syiar dan silaturahmi luring penting dikonversi secara daring dengan dukungan sistem teknologi informasi yang cepat, mudah, canggih, dan luas yang menggambarkan Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai organisasi modern yang hidup di era Revolusi 4.0.. Selain Muktamar, roda pergerakan organisasi Muhammadiyah harus terus berjalan di tengah gelombang kehidupan yang kompleks sesuai hukum dinamika zaman.
Alhamdulillah dan terima kasih bahwa di tengah beban berat Covid-19 seluruh komponen Muhammadiyah bergerak aktif selain mengatasi wabah juga menjalankan usaha-usaha tanpa kenal lelah. Muhammadiyah dari Pusat sampai Ranting, Aisyiyah dan Organisasi Otonom lainnya, MCCC, majelis dan lembaga, amal usaha, PCIM- PCIA, serta jamaah di seluruh tingkatan secara proaktif bergerak menjalankan program dan kegiatan. Semuanya berkolaborasi ke dalam maupun ke luar dalam kebersamaan, sehingga beban terasa lebih ringan. Bersamaan dengan itu usaha-usaha memajukan Persyarikatan terus dilakukan tanpa kenal lelah, membangun sarana-prasarana masih berjalan dengan semangat tinggi, bahkan lahir beberapa PTMA baru di Wilayah-Daerah serta Universiti Muhammadiyah Malayasia (UMAM).
Warga dan pimpinan Persyarikatan tetap gembira serta menunjukkan pengkhidmatan dan etos kerja tinggi mengikuti enam pesan Kyai Dahlan “Tidak Menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain; Tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik; Tidak sombong dan tidak berbesar hati jika menerima pujian; Tidak jubria (ujub, kikir, dan ria); Mengorbankan harta benda, pikiran, dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni; dan Bersungguh hati terhadap pendirian.”. Muhammadiyah-Aisyiyah sungguh memiliki daya hidup yang luar biasa. Itulah etos dakwah dan tajdid yang lahir dari jiwa Islam berkemajuan!
Agenda Muhammadiyah ke depan tentu masih berat. Pasca pandemi Muhammadiyah dan bangsa Indonesia penting melakukan recovery berbagai aspek kehidupan seperti pemulihan mental warga, amal usaha, membangkitkan ekonomi rakyat kecil dan menengah, dan normalisasi berbagai aktivitas. Apalagi bila pandemi belum dapat dipastikan kapan berakhir serta berubah statusnya menjadi endemi, maka sangat diperlukan rancang-bangun adaptasi baru dan rekonstruksi langkah yang cerdas, seksama, dan berkelanjutan. Semua itu menuntut pendayagunaan pemikiran, sumber daya manusia, usaha, dana, dan daya dukung lainnya secara optimal agar kehidupan ke depan berjalan baik dan membuka lembaran baru secara lebih baik.
Akhirnya, Muhammadiyah di tengah dinamika kehidupan yang berat dan kompleks dituntut mujāhadah yang semakin berkemajuan dalam menggerakkan segala usaha memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Tumbuhkan sikap optimis hadapi pandemi dan masalah negeri disertai usaha menyukseskan Muktamar ke-48 di Surakarta. Seraya terus bermunajat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar musibah Covid- 19 diangkat atas Kuasa-Nya dan kehidupan berjalan normal kembali secara lebih baik. Semoga umat manusia di muka bumi saat ini belajar hikmah kehidupan dari musibah global ini untuk hidup makin dekat dengan Tuhan, mencintai sesama dan alam ciptaan- Nya, dan membangun peradaban yang tercerahkan dalam limpahan berkah-Nya.
Editor: Rianza Putra